OLEH : Yoshephine Fibula Prastyono
Tanah yang kupijak ini terasa kosong setelah kau pergi
Lanang. Gontai langkah ini menyusuri hari yang tadinya bercorak menjadi
hitam dan putih. Kemana kau Lanang, pembawa sepenggal hati. Teriakan ini
tak dapat mengalahkan gelegar guntur dan tak memecah sperti kilatan
petir.
Jiwa ini seakan tak satu mengembara tak berarti. Seperti kosongnya pikiran ini. Lariku tak sekuatmu Lanang menyeruak kerumunan orang menembus awan untuk mencarimu hingga kedunia yang berbeda. Khayal memang tapi demi kau Lanangku.
“ Alina, susunlah ragamu kembali! Sadarlah Lanangmu tak akan kembali!” seruan diiringi senyuman sinis. Kubalas semuanya dengan tatapan tajam dan berbekas. “ Kau pikir Lanangmu menyimpan penggalan hatimu. Hei!!!! Sadarlah, siapa Lanangmu itu!” Cakar tanjamku melukai wajah dan bibirmu yang terlalu banyak bacot. Kucuran darah membuatmu melesat dan menjauh dariku. Di ujung taman inilah kurasakan ragamu tetap ada.” Itu Alina, itu Alina, itu Alina! Seruan itu menggetarkan kesadaranku yang berkelana aku berlari melesat seperti bayu tak berbekas.
Kembali meringkuk di kamar lembab ini menggigil ketakutan,
bercak darah menempel ditelapak tangan ini belum tersentuh oleh kucuran
air. Detak jantung ini seakan merontakkan tulang-tulang pelindungnya,
takut dan marah ini membuat luluh air mata ini. Karenamu Lanangku aku tak
berdaya dan menjadi beringas melindungi hati ini karena takut kehilangan
pembawa sepenggal hati. Terlelap seakan dipelukmu,hangat dibelaimu.
“Hai pelangi hatiku, apa kabarmu?” sapaan itu membuatku terperanjat dan spontan memeluk tubuh kekar itu. ” Tebuslah semuanya Lanangku, air mata, hati yang terkoyak dan rasa takut ini.” Aku memeluk dan terluruh di kakimu Lanangku. “Pasti sayangku, aku akan kembali merengkuhmu, menjadi pelabuhan hatimu dan menjadikanmu garwaku.”suaramu menyenjukkan hatiku. Wusssss lenyap “Lanaaaaaaaaaaaang!” kembali berurai air mata ini. Sesak dada ini ternyat mimpi seakan nyata. “Jangan lepaskan aku walau hanya mimpi.
Ketukan halus di pintu, segera kuhapus air mata ini dengan kasar penuh kemarahan pada diri penuh harap ini. Suara lembut ibu “Alina, buah hatiku. Bolehkah ibu masuk?” “Silahkan Bu.” Suaraku menjawab dengan getar lembut. “Ini surat untukmu, Nak. Ibu tinggal dulu ya.” Ibuku memang sungguh pengertian. Kujawabdengan anggukkan.
Tanganku bergetar, air mata mengalir secupuk amplop berwarna langit biru kuterima. Perlahan jemari ini menyobek ujung amplop tak berdaya ini diiringi oleh hembusan angin siraman cahaya sore yang kau kirim Lanang. Sekerat hati yang kau bawa terasa perih pedih tak tergantikan oleh suratmu.
Jawaban ini kutiupkan untukmu wahai pengerat senjaku. Lanang sesuai dengan namamu yang menunjukkan ketegaran, aku yakin Lanang engkaulah yang dapat melindungiku dalam keadaan apapun. Menjadi garwamu seperti mimpiku tentangmu akan kujalani dengan bahagia. Kuterima keratan senjamu dengan senyuman dan sedikit tetesan air mata yang mulai kering karena menerima semua goresan. Semua perjuanganmu, derita lukamu untukku membuatku tetap menjaga penggalan hati untukmu. Lanang kutunggu kau diujung senja dihembus sepoi angin dengan sunggingan senyum di bibir. Terima peluk dan ciumku lanang, lewat angin dan debu yang menempel. Cintaku untukmu slalu Lanang.
Akan kutata hati ini Lanang. Serpihan hati tersusun menanti datangnya Lanang. Mungkin serpihan hati yang tertata berlubang karena lenyap tertiup angin atau tertumpuk debu-debu.
Pojok kamar
19 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar